Saturday, April 27, 2013

Korban Mode di Dunia Nyata dan Dunia Maya (part 1)

Dulu di pertengahan tahun 2010, saya tergila-gila oleh salah satu game fashion online besutan game developer asal Jepang. Saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendandani avatar saya, berbelanja dan berburu items murah di "pasar", mengamati tampilan avatar-avatar lain, serta berjuang sekuat tenaga untuk bisa mendapatkan "suteki" dari player lain di seluruh dunia. Dan yang paling mengagumkan dalam sejarah bermain game saya adalah saya mau-maunya belanja baju-baju "virtual" pake uang beneran (lewat paypal suami, sih, officially saya nggak bayar sendiri). Buat gamers mungkin itu biasa, tapi buat saya yang notabene  bukan gamer dan bukan pecandu game, ternyata bisa "klepek-klepek" juga sama game fashion. 

Fashion seakan selalu menjadi titik lemah seorang wanita :)

Dulu, jaman saya masih remaja (tahun 95 an) istilah kormod alias korban mode sangat populer. Istilah tersebut ditujukan orang yang mau melakukan apa saja untuk menjadikan mode. Seiring  berjalannya waktu, istilah kormod tidak sepopuler dulu, sepertinya makna nya pun bergeser menjadi sebuah sebutan bagi orang-orang yang memaksakn diri tampil modis tapi tidak cocok dengan karakteri atau personalitynya. Kalau saya pribadi, saya masih menempatkan istilah kormod itu sebagai tindakan untuk melakukan segala sesuatu demi mengikuti mode terbaru. Kalau diteliti lebih jauh, tindakan kormod bisa berdampak pada shopaholic (liat postingan saya "Shopaholic" - Fenomena Pemujaan Terhadap Citra).

Nah, yang mau saya bahas disini adalah sebuah kecenderungan yang dimiliki oleh hampir setiap wanita pada kebutuhan untuk disebut yang paling........ baik itu yang paling cantik, yang palling keren, yang paling modis, yang paling up to date, dan lain-lain.

Kita lihat dulu ya ini interface utama bagi player ketika log in:

Fitur "Posh Clothes"  di bagian sebelah kanan untuk mengupload berbagai item fashion lucu yang kita miliki dan kita gunakan sehari-hari. Yup, kita harus rajin motret barang-barang yang kita punya dan rajin menguploadnya melalui fitur ini. Setiap pemain memang wajib mengupload item fashion yang mereka miliki (dalam dunia nyata) jika mereka inggin mendapatkan ribbons (lihat gambar, panel sebelah kanan). Ribbons inilah yang digunakan pemain untuk bisa membeli baju dan item fashion lainnya di dalam game, sehingga mereka bisa mendadani avatar mereka supaya siap bersaing dengan pemain lainnya. Jika pemain tidak cukup telaten untuk mendapatkan ribbons dengan cara mengupload clothes, pemain bisa langsung beli jewels (pake uang beneran via paypal atau credit card) yang nanti ujung-ujungnya bisa ditukar jadi ribbons. Bisa belanja lagi deh...

Ketika suami saya tahu saya keranjingan main game ini, suami saya (yang kebetulan seorang game dev indie) menanyakan dimana sih letak kompetisinya? kalau menang jadi apa, yang kalah jadi gimana? saya dengan lugunya menjelaskan kalau game ini nggak ada menang kalahnya, kita cuma disuruh dress up, ngepost hasil dress up kita, mengapresiasi hasil dresss up pemain lain, belanja, belanja, dan...belanja. Saat itu suami saya langsung menunjukkan ekpresi tertegun yang tidak akan pernah saya lupakan....karena dia tidak pernah tahu kalau ada game yang nggak ada kalah  menangnya, nggak ada game overnya :)

Saya percaya kalau kebanyakan wanita penggemar game fashion memang tidak memerlukan unsur kompetitif yang menjadi unsur penting dalam genre game lain. Dan itulah yang membuat game fashion bertahan dan terus dimainkan...karena kita -kaum hawa- nggak perlu pusing mikirin game over. Satu-satunya obsesi yang harus diraih pemain game fashion ini adalah digemari oleh pemain lain, jadi mereka bisa dapat suteki :). Liat deh screen shot dibawah ini:


Jika kita masuk ke fitur community, kita dimungkinkan untuk menyimak penampilan lain para pemain. Disanalah unsur kompetisi yang sebenarnya, ketika pemain mati-matian dress up yang paling unik supaya pemain lain bisa memberikan apresiasi, istilahnya memberi tanda "like", sehingga pemain bisa dapat suteki. 

Setiap pemain log in dan dress up pemain akan mendapatkan poin. Supaya lebih banyak dapat bonus dari fitur shell, pemain bisa ngepost dress up nya pada saat itu ke fitur community. Nah, jika pemain ingin dress up, tampilan interfacenya jadi kayak gini:


Pemain harus rajin dress up (setidaknya sekali sehari) supaya dapat poin. Supaya penampilan avatar bisa maksimal, tentu saja pemain harus selalu  menambah koleksi items fashionnya. Semua koleksi items fashion pemain terdaftar dan tersimpan secara sitematis loh...lihat aja 

Jika gaya dress up kita sudah mati gaya karena semua items fashion sudah pernah kita coba mix and match. mau nggak mau kita harus belanja. Pilihan tempatnya banyak, tapi yang paling murah di poupee market :)

 Di "pasar" kita bisa berburu berbagai items fashion dengan berbagai kategori

Permainan ini benar-benar mengingaatkan kita pada permainan bongkar pasang pas kita kecil dulu.
(bersambung....)


Tuesday, April 16, 2013

Citra Wanita Dalam Media Promosi Rokok Di Indonesia Tahun 1930-an

oleh : Rahina Nugrahani

(dipublikasikan dalam jurnal Imajinasi
No/Vol : 1/7 Januari Halaman: 25-34 Tahun: 2011, ISSN: ISSN: 1829-930X)

Perkembangan rokok di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tanaman tembakau dan cengkeh. Konon, rokok beraroma cengkeh sangat khas Indonesia. Industri rokok kretek di Indonesia diperkirakan berkembang pada tahun 1870-1880an. Sejalan dengan perkembangan usaha rokok yang cukup pesat, persaingan antar produsen rokok mulai terjadi. Beberapa perusahaan rokok berskala besar mencoba untuk bersaing dan berupaya untuk menjadi paling unggul melalui pemilihan kegiatan promosi yang tepat. Strategi pemasaran berupa etiket, iklan maupun merchandise produk rokok menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia perdagangan rokok. Mencermati perkembangan strategi pemasaran rokok dari masa ke masa merupakan sebuah kajian yang sangat menarik. Elemen visual berupa image yang mucul pada media promosi rokok di tahun 1930an memiliki kesamaan karakteristik, yaitu munculnya image wanita yang sedang menghisap rokok dapat ditemukan pada berbagai jenis media promosi  yang berkembang pada masa itu. Melalui analisa yang dilakukan terhadap empat buah media promosi produk rokok tahun 1930an penulis menyimpulkan bahwa tampilan wanita pada media promosi rokok ditujukan untuk dua hal. Pertama, wanita ditampilkan untuk membangkitkan unsur sensualitas berdasarkan legenda Roro Mendut. Kisah Roro Mendut, rokok dan fantasi seksual telah menjadi inspirasi yang masih lekat dalam ingatan masyarakat saat itu. Upaya membangkitkan unsur sensualitas tersebut ditujukan untuk menjaring target audiens pria. Kedua, tampilan wanita dalam media promosi ditujukann untuk menjaring lebih banyak target audiens wanita. Saat itu, media promosi berupa iklan surat kabar maupun merchandise hanya dinikmati oleh segmentasi kalangan tertentu, yaitu kelas menengah ke atas. Citra wanita glamour, anggun dan berkelas dibangkitkan melalui tampilan wanita cantik yang sedang merokok. Citra tersebut diharapkan mampu menjaring minat wanita kelas menengah ke atas untuk melakukan aktivitas merokok.


Perkembangan rokok di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tanaman tembakau dan cengkeh. Konon, rokok beraroma cengkeh sangat khas Indonesia. Bentuk-bentuk rokok yang berkembang pada masa itu tidak berpenampilan seperti sekarang ini. Kretek dengan klobot merupakan kretek paling umum yang digunakan banyak orang. Industri rokok kretek di Indonesia diperkirakan berkembang pada tahun 1870-1880an. Pada masa itu telah muncul ratusan pabrik yang memproduksi rokok kretek dan dalam perkembangannya mampu menggeser keberadaan rokok-rokok produksi mancanegara. Perusahaan rokok kretek pertama di Indonesia adalah perusahaan rokok Mari Kangen di Solo yang kemudian disusul oleh perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya. Pada awal abad 20, banyak perusahaan rokok kretek beroperasi di Kudus. Salah satu perusahaan yang terkenal adalah perusahaan rokok cap Bai Tiga yang dikelola oleh raja rokok Nitisemito. Sejak tahun 1928 terjadilah perubahan penting dalam industri rokok kretek di Kudus yaitu semakin luasnya wilayah industri menuju distrik Kudus, Tenggeles, Cendono dan beberapa wilayah  lain di Jawa[1]. Sejalan dengan perkembangan usaha rokok yang cukup pesat, persaingan antar produsen rokok mulai terjadi. Beberapa perusahaan rokok berskala besar mencoba untuk bersaing dan berupaya untuk menjadi paling unggul melalui pemilihan kegiatan promosi yang tepat. Strategi pemasaran berupa etiket, iklan maupun merchandise produk rokok menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia perdagangan rokok.


[1] Katalog Pameran Grafis Etiket Rokok (2001), hal.6-7

Periklanan rokok mulai berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi mesin cetak oleh surat kabar di Indonesia. Merupakan sebuah fenomena yang menarik ketika kita mencermati beberapa jenis media promosi rokok pada masa awal berkembangnya metode beriklan di tanah air. Strategi beriklan berupa pemasangan iklan cetak (print ad) di beberapa surat kabar lokal, atau merchandise berupa kalender serta strategi beriklan tidak langsung yang dapat kita lihat dalam grafis etiket kemasan rokok mulai marak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan rokok berskala besar yang peduli pada pengenalan merk di kalangan masyarakat. Di masa itu, istilah branding activation mungkin belum dikenal oleh para produsen rokok, namun mereka cukup sadar pentingnya menarik perhatian masyarakat dan mengikat emosi pembeli dengan merk dagang  mereka. Maka kegiatan beriklan  pada tahun 1930an menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masa perkembangan industri rokok di Indonesia.

Mencermati perkembangan strategi pemasaran rokok dari masa ke masa merupakan sebuah kajian yang sangat menarik. Etiket, iklan maupun merchandise untuk produk rokok tidak sekedar memuat informasi dan upaya penawaran produk, namun juga mengandung unsur yang sangat berkaitan dengan lingkungan sosial, kebudayaan, bahkan mitos yang berkembang pada sebuah masa. Elemen visual berupa image yang mucul pada media promosi rokok di tahun 1930an memiliki kesamaan karakteristik. Image wanita yang sedang menghisap rokok dapat ditemukan pada berbagai jenis media promosi  yang berkembang dan sempat terpublikasikan pada masa itu. Kesadaran akan potensi wanita sebagai obyek yang digunakan dalam strategi pemasaran telah dimiliki oleh pelaku pemasaran sejak dulu. Melalui proses pengolahan dan pengaturan komposisi dengan cara yang sederhana, beberapa media promosi berupa etiket, iklan maupun merchandise yang dibuat pada awal perkembangan industri rokok menunjukkan keterkaitannya dengan aspek sosial kebudayaan. Melalui analisa yang dilakukan terhadap empat buah media promosi produk rokok tahun 1930an penulis mencoba untuk mengurai beberapa hal yang menjadi faktor pemilihan image wanita pada strategi pemasaran rokok di tahun 1930an.

A. Citra perempuan dalam Media Promosi
                 Ada berbagai macam strategi kreatif dalam periklanan. Salah satunya adalah penggunaan brand image (citra merek). Sebuah merek atau produk diproyeksikan pada suatu citra (image) tertentu melalui periklanan. Citra sebenarnya bukanlah suatu struktur yang tertutup karena setidak-tidaknya ia berkomunikasi dengan sebuah struktur lain yaitu teks.Yang dimaksud dengan teks dalam hal ini adalah susunan kata, perkataan atau kalimat-kalimat yang bersifat parasitik dan sengaja didesain untuk mengkonotasikan citra (Boediman 2004:15 ).

Gagasan penggunaan citra adalah agar konsumen dapat menikmati keuntungan psikologis dari sebuah produk. Ini biasanya berorientasi pada simbol kehidupan. Daya tarik pesan dapat diciptakan menggunakan berbagai macam unsur, seperti selebritis, humor, fear, musik, komparatif, atau seks. Munculnya sebuah gerakan kebudayaan pop di Amerika Serikat pada pertengahan 1950-an mendorong munculnya seni beriklan indah. Dan budaya tersebut diadaptasi oleh hampir semua negara di dunia. Dalam budaya pop, iklan harus tampil mempesona, cantik, indah, menarik dan atraktif. Pada akhirnya cara manipulasi iklan berperan sebagai sihir pengolah kesadaran masyarakat.

Penggunaan sosok perempuan dalam iklan merupakan sebuah kelaziman, bahkan bagi beberapa pekerja kreatif merupakan keharusan. Perempuan dan iklan memang tidak bisa dipisahkan. Tidak dapat  disangsikan bahwa perempuan memiliki kekuatan dalam membantu menjual produk yang diiklankan. Bila kita simak pembabakan Tamrin A Tomagola (1996) yang dikutip oleh Tinarbuko melalui sebuah artikel online (2011),  terdapat  lima citra perempuan dalam iklan, yaitu; citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan.

Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri biologis. Citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Citra peraduan, menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki. Citra pinggan, digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan perempuan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan, sehingga untuk dapat diterima, wanita perlu tampil memikat secara fisik.

Pembabakan citra  tersebut menunjukkan betapa mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme di kalangan pengiklan. Karena itulah, keberadaan perempuan dalam iklan seakan menjadi acuan pembentukan ekistensi serta mitos tentang identitas.


Rokok dalam kehidupan sosial di Indonesia tahun 1930an


Sebelum diproduksi secara masal, rokok dibuat dalam skala industri rumah tangga dan melalui cara yang sangat konvensional. Rokok yang pertama kali dibuat adalah rokok lintingan tanpa ada tambahan cengkeh atau campuran bahan lain. Industri rokok pada masa itu digolongkan menjadi industri rumah tangga. Sedangkan rokok kretek dengan aroma cengkeh pertama kali dipelopori oleh  Haji Djamari -seorang penduduk Kudus- pada tahun 1880an. Dia menderita sakit di bagian dadanya lalu mulai mempelopori penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai sembuh. Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat rokok obat yang diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu rokok obat lebih dikenal dengan nama rokok cengkeh, kemudian sebutan tersebut berganti menjadi rokok kretek karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan. Rokok kretek kemudian mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas.



Suatu hal yang menarik bahwa pada mulanya orang  merokok tidak ada hubungannya dengan gengsi, penampilan, atau bahkan kejantanan seseorang. Kebiasaan merokok pada awalnya lebih mengacu kepada sajian yang biasanya dinikmati pada saat masyarakat bersosialisasi. Pada zaman Hindia Belanda, rokok kretek hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah biasa menikmati rokok lintingan. Perbedaan harga rokok kretek dan rokok lintingan menyebabkan adanya positioning yang berbeda antara kedua jenis rokok tersebut. Wanita kelas menengah ke atas juga mulai menjadi target pasar dari rokok kretek pada masa itu. Kebiasaan “nginang” (mengunyah daun sirih yang dicampur tembakau) dilakukan oleh wanita dari kalangan kelas menengah ke bawah dan berusia lanjut. 

Cerita Rakyat Roro Mendut dan Strategi Pemasaran Rokok
  
Cerita rakyat Roro Mendut merupakan salah satu cerita yang cukup dikenal, khususnya di Pulau Jawa. Legenda Roro Mendut yang menampilkan rokok sebagai obyek dari cerita tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa telah dimulai jauh sebelum zaman kesultanan Mataram di abad ke 17. Roro Mendut di  masa itu menjadi ikon kecantikan dan kesempurnaan seorang wanita. Dalam perkembangan kisah hidupnya, Roro Mendut harus menjadikan rokok sebagai tumpuan hidupnya karena adanya tuntutan keadaan. Hal tersebut jua menunjukkan bahwa rokok dalam skala sangat sederhana juga sangat potensial menjadi sebuah industri rumah tangga yang menjanjikan.
Cerita rakyat Roro Mendut, seperti yang disadur dari Novel Cerita Rakyat berjudul “Roro Mendut” tulisan YB Mangunwijaya (1988), dilatar belakangi oleh legenda percintaan antara Roro Mendut dan Pranacitra. Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan Roro Mendut –salah seorang gadis yang terkenal karena kecantikannya- terpaksa harus membanting tulang membayar upeti yang dibebankan kepada dirinya karena telah menolak cinta dari Tumenggung Wonocitro -orang yang memiliki pengaruh di wilayah kerajaan. Untuk memenuhi upeti tersebut, Roro Mendut membuka usaha dengan cara menjual rokok lintingan. Pada perkembangannya, menyadari potensi kecantikan dirinya yang mudah menarik perhatian lawan jenis, Roro Mendut menjual rokok  lintingan yang direkatkan dengan air ludahnya dan dihisap terlebih dahulu dengan harga yang cukup tinggi. Strategi tersebut menjadikan rokok dagangannya menjadi rebutan para pria. Konon, pria rela mengantri serta berebut rokok hasil lintingan dan hisapan Roro Mendut. Bahkan ada kepercayaan yang berkembang bahwa menghisap rokok lintingan Roro Mendut akan membangkitkan fantasi seksual para lelaki. Hal tersebut semakin mendongkrak kepopuleran dan tingkat penjualan rokok lintingan Roro Mendut. 
Dalam masyarakat tradisional (di Indonesia), perempuan cenderung tidak memiliki banyak pilihan untuk merumuskan eksitensi dan citra dirinya karena masih terbelenggu oleh nilai-nilai normatif yang harus diterima secara sosio-kultural dan sosio-religius yang dianut secara doktriner. Jika menyimak kisah Roro Mendut kita dapat melihat bahwa pada zaman kerajaan Mataram telah lahir sebuah  ikon kemandirian wanita. Roro Mendut berupaya keras untuk  menafkahi dirinya sendiri demi pilihan hidup dan keyakinan yang harus diperjuangkan. Terbukti, Roro Mendut rela untuk meninggalkan kehidupan keluarga yang berasal dari kalangan ningrat untuk memperjuangkan pilihan hatinya yaitu Pranacitra.    
Keberhasilan bisnis berjualan rokok lintingan ala Roro Mendut  menunjukkan bahwa rokok sangat potensial untuk dipasarkan dengan pendekatan seksualitas. Pada awal perkembangannya, image wanita dalam media promosi rokok cukup banyak digunakan. Citra kemandirian, kebebasan, keberanian untuk menolak norma yang berlaku sekaligus citra sensualitas yang telah dibangun melalui legenda Roro Mendut rupanya menjadi inspirasi insan kreatif untuk menggunakan image wanita dalam media promosi rokok. Hingga pertengahan 1980an, kita masih bisa melihat foto-foto wanita dalam balutan busana seksi yang ditampilkan dalam sebuah iklan cetak produk rokok. Legenda Roro Mendut juga menguak sebuah fakta bahwa perempuan bisa melepaskan diri dari belenggu tradisionalitas sembari mendapatkan kebebasan memilih citra, tapi di lain sisi secara tidak sadar dia telah menjadi korban dari tuntuan pasar. Dalam kisahnya, Roro Mendut ketika harus menjual rokok lintingan yang direkatkan dengan air ludahnya dan menghisapnya terlebih dahulu, secara tidak langsung telah  menjual sebagain dari dirinya untuk memenuhi kebutuhan para lelaki dalam mewujudkan fantasi erotisme mereka. Melalui tubuhnya, perempuan adalah penguasa citra tapi pada saat yang sama sekaligus menjadi korban utamanya.  

Citra Wanita Dalam Media Promosi Produk Rokok tahun 1930an
  
Dalam era yang menjadikan kapitalisme sebagai ujung tombak kehidupan seperti sekarang ini, perempuan adalah salah satu sasaran dan medan utama dalam arus pencitraan. Berbagai telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat konsumtif menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama. Hal ini menandakan bahwa budaya konsumtif cenderung identik dengan kecenderungan untuk  eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan, khususnya tubuh perempuan. Tubuh perempuan seakan diolah, semaksimal mungkin untuk dijadikan komoditas sekaligus sebagai penyerap dan konsumen utama. Konsep baru mengenai kecantikan dalam budaya konsumtif tersebut telah menyediakan berbagai pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan yang nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru mengenai eksistensi.  
Kita mungkin tidak pernah menduga bahwa potensi wanita dalam strategi promosi telah disadari keberadaannya sejak era kapitalisme dimulai dan budaya konsumtif dipuja seperti sekarang ini. Tampilan wanita sebagai pelengkap elemen visual dalam berbagai strategi media promosi bahkan dimulai sejak era industri berkembang, bahkan untuk skala yang paling kecil seperti industri tradisional maupun industri rumah tangga. Ketika perusahaan rokok berkembang di Indonesia di awal abad 20, tidak semuanya berkembang menjadi perusahaan berskala besar. Perusahaan-perusahaan yang menyadari bahwa kegiatan promosi dianggap perlu untuk meningkatkan produksi dan hasil penjualan muali mengadaptasi kegiatan reklame yang mulai dipopulerkan pemerintah Hindia Belanda seiring dengan penggunaan mesin cetak pertama untuk surat kabar Bataviasche Nouvelles di tahun 1744. Bataviasche Nouvelles disebut sebagai surat kabar pertama yang berorientasi iklan karena sebagian besar berita yang dimuat merupakan iklan perdagangan, pelelangan dan pengumuman resmi pemerintah VOC[1]. Dua abad setelah masa penggunaan mesin cetak pertama tersebut, strategi promosi yang awalnya hanya terbatas pada iklan baris kemudian berkembang menjadi berbagai jenis media promosi lainnya seperti etiket, iklan bergambar dalam surat kabar serta merchandise.


[1]  Lihat Reka Reklame (2005) halaman 4-5

Etiket merupakan karya desain grafis sebagai suatu bentuk komunikasi visual dalam strategi promosi. Fungsi utama etiket adalah menginformasikan nama serta gagasan suatu produk. Selain itu, etiket merupakan langkah awal untuk mengkomunikasikan citra produk kepada target audiens. Pada umumnya etiket berupa secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan suatu produk. Dalam perkembangannya etiket kemudian dicetak menjadi satu dengan kemasan. Wajar saja jika akhir-akhir ini istilah etiket menjadi asing bagi kita karena keberadaannya pun sudah sangat jarang ditemui. Dewasa ini, etiket masih digunakan oleh industri rumah tangga tradisional yang memproduksi makanan.
Pada awal perkembangan industri rokok di Indonesia, etiket menjadi satu-satunya alat untuk mengenalkan brand/merk produk pada target audiens. Mahalnya biaya promosi melalui surat kabar atau media promosi yang lain, menjadikan industri rokok berskala kecil memilih etiket sebagai tumpuan alat untuk menjual produk, selain kualitas dari produk rokok itu sendiri tentunya. Kesadaran akan pentingnya etiket dalam strategi pengenalan produk kepada audiens menyebabkan etiket rokok dibuat dengan cara yang terhitung sakral. Konon, produsen rokok rela mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membayar paranormal agar memilihkan image yang sesuai bagi produk mereka.  
Image wanita dalam etiket rokok untuk merk dagang Soember Girang ini dibuat pada tahun 1930-an. Dibandingkan dengan etiket lain yang berkembang pada masa itu, etiket ini termasuk salah satu etiket yang memiliki mutu yang baik. Unsur gambar tampak menarik dan menunjukkan kemampuan ilustratornya. Penyajiannya cukup komunikatif, realistis dan menggunakan unsur garis yang kuat dan blok warna yang tegas. 
Tampilan wanita dalam etiket rokok pada masa itu bisa dikatakan bukanlah sebuah kelaziman. Etiket pada masa itu didominasi oleh tampilan visual yang sesuai dengan merk dagang rokok. Sebagai contoh, etiket rokok pada merk Gudang Garam menampilkan deretan gudang garam yang sangat simetris dan sederhana. Image gudang garam sama sekali tidak mengandung upaya perayuan (seduction) karena konon pemilihan merk dan imagenya didasarkan pada inspirasi paranormal yang mungkin tidak rasional. Begitu juga dengan etiket rokok Bentoel, Oepet,  dan Djarum. Masing-masing merk memasang image yang mewakili nama merk dagang pada etiket yang dibuat. 
Etiket produk rokok bermerk Soember Girang ini menampillkan sosok wanita cantik yang sedang merokok. Meskipun ditampilkan tidak secara vulgar, namun eksploitasi tubuh wanita dapat kita lihat dari siluet bentuk dada yang besar serta lingkar pinggang yang tampak kecil. Sosok wanita dalam etiket ini menjadi elemen penarik tunggal atau emphasis dari tampilan etiket secara keseluruhan. Pemilihan image wanita dalam etiket ini lebih cenderung kepada upaya rayuan (seduction) target audiens pria. Hal ini didasari pada persepsi bahwa  pria selalu lebih tertarik pada wanita cantik sebagai obyek. Mereka beranggapan, perempuan lebih efektif dalam upaya merebut perhatian dari khalayak sasaran. Disebabkan ketidaklaziman tampilan wanita pada etiket rokok pada masa itu, seakan desainer etiket rokok  meyakini bahwa tampilan wanita cantik bisa menjadikan etiket tersebut unggul jika dijajarkan dengan ratusan etiket rokok yang lain.   
Terjadinya depresi ekonomi global di tahun 1929 yang diikuti dengan lesunya oplah surat kabar dan pendapatan periklanan, menyebabkan biro iklan mulai terpuruk dan terjebak dalam kebangkrutan. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1930 kondisi perekonomian Hindia Belanda mulai pulih. Biro periklanan mulai bergairah lagi menjalankan aktivitasnya, bahkan  mulai menggunakan teknologi periklanan yang canggih. Kesadaran untuk memposisikan produknya juga terjadi pada para produsen rokok. Karena tingginya tingkat persaingan antara produsen rokok, maka mereka mulai memberlakukan brand positioning -meskipun dengan cara yang cukup sederhana.  
Ilutrasi iklan surat kabar untuk produk rokok ini menampilkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tampak bersantai menghabiskan waktu luangnya. Pada ilustrasi ini, digambarkan sang wanita sedang  menghisap rokok. Pada zaman itu, hanya wanita dari kalangan menengah ke atas saja yang merokok, sedang wanita kelas menengah ke bawah biasanya “nginang” (mengunyah campuran daun sirih dan tembakau). Demikian halnya dengan keberadaan surat kabar di tahun 1930an yang hanya dikonsumsi oleh kalangan ningrat dan menengah ke atas. Upaya memposisikan rokok dengan merk dagang “Tjap Doro” merupakan upaya untuk menjaring target audiens di kalangan wanita kelas menengah ke atas. Pada tahun yang sama di Amerika Serikat, iklan rokok Marlboro juga memposisikan target audiensnya untuk wanita. Marlboro di awal kemunculannya memposisikan produknya untuk wanita karena pada saat itu rokok digunakan sebagai pelengkap fashion.  
Korelasi secara langsung antara iklan rokok Tjap Doro dan iklan rokok Marlboro mungkin tidak bisa dilihat secara langsung. Akan tetapi terdapat kesamaan upaya untuk memposisikan rokok kretek atau sigaret bagi kaum wanita. Ilustrasi wanita yang sedang merokok pada iklan surat kabar rokok “Tjap Doro” memberi kesan kebebasan sekaligus keberanian untuk mengekspresikan diri. Pada masa itu, wanita pada umumnya hidup dengan aturan-aturan yang harus ditaati. Wanita memilliki kewajiban yang besar untuk mengurus rumah tangga, mengurus suami dan mendidik anak-anak. Alih-alih untuk menghabiskan waktu luang dengan mengobrol dan bersantai, meluangkan waktu untuk mengurus diri sendiri saja seringkali tidak bisa dilakukan oleh para wanita.
Ilustrasi tersebut membuka wacana serta menawarkan  sebuah kemungkinan bagi para wanita untuk melakukan hal yang tidak umum mereka lakukan, yaitu menghabiskan waktu luang. Bersantai di waktu luang digambarkan sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan, terlebih dengan menghisap rokok kretek atau sigaret. Kesan ilustrasi tersebut diperkuat dengan adanya slogan “Selaloe Poewaskan Penghisapnja” . Jika hendak dikaitkan dengan gerakan feminisme, iklan surat kabar ini juga mengandung propoganda gerakan tersebut. Persamaan hak (dalam hal ini adalah hak untuk memiliki waktu luang, bersantai, dan menghisap rokok) antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan dengan jelas melalui ilustrasi yang menampilkanseorang lelaki dan seorang perempuan yang sama-sama bersantai menghisap rokok di waktu luang. Upaya untuk memposisikan produk sebagai rokok yang dibuat tidak hanya untuk kaum pria, namun juga dibuat untuk kaum wanita tampak jelas dalam iklan surat kabar ini. 
  3. Image Wanita Dalam Merchandise Berupa Kalender Produk Rokok   
Merchandise merupakan salah satu bentuk strategi promosi dalam kegiatan pemasaran. Secara umum merchandise dikembangkan dalam bentuk kemasan (packaging), display atau pajangan,  atau publikasi. Diberikan sebagai bonus atau hadiah ketika konsumen membeli produk untuk mendukung kegiatan promosi. Pada akhir tahun 1920 an dan akhir tahun 1930 an terdapat dua merchandise berupa kalender yang dipublikasikan oleh dua perusahaan rokok berbeda. Pada tahun 1928 produsen rokok Tjap Kris dari Madiun memberikan kalender sebagai bonus bagi agen rokok atau konsumen yang membeli rokok dalam jumlah tertentu.


Sedangkan pada tahun 1938 perusahaan rokok paling laris pada masa itu dari Surakarta, Mari Kangen membuat merchandise berbentuk kalender dengan image wanita yang menghisap rokok.




Secara psikologis baik pria maupun wanita pada dasarnya lebih menyukai perempuan sebagai image dalam tampilan iklan maupun media promosi. Gunawan Alif dalam Tinarbuko (2011) menyebutkan perbedaannya terdapat pada realita bahwa wanita lebih suka pada tampilan perempuan yang anggun sedangkan laki-laki lebih menyukai tampilan wanita yang seksi dan menggoda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa image wanita dalam tampilan kalender yang diproduksi oleh produsen rokok “tjap Kris” dan “Mari Kangen” ditujukan untuk membentuk positioning di kalangan wanita bahwa rokok yang mereka produksi tidak hanya ditujukan untuk kaum pria namun juga sesuai dinikmati oleh kaum wanita. Melalui image tersebut, produsen berupaya untuk membangun citra anggun, fashionable sekaligus mandiri yang ditampilkan dalam ilustrasi wanita cantik yang sedang merokok. Selain itu image wanita dalam kalender ditujukan untuk membentuk rayuan (seduction) bagi kaum pria. Upaya tersebut sangat mungkin dilatarbelakangi oleh legenda Roro Mendut dengan sensasi rokok hasil lintingannya yang sempat menggegerkan masyarakat di masa kerajaan Mataram. Produsen sejak zaman dahulu menyadari unsur sensualitas sangat menjanjikan bagi peningkatan sebuah strategi pemasaran.

PENUTUP 


Dalam hal pencitraan, kemampuan tubuh wanita berada jauh di atas kemampuan kaum laki-laki. Melalui potensi keindahan tubuhnya, perempuan telah berhasil menundukkan dunia pemasaran sejak puluhan tahun yang lalu. Kisah Roro Mendut telah menjadi ikon keberhasilan pencitraan wanita dalam strategi pemasaran rokok.  Legenda Roro Mendut juga menguak sebuah fakta bahwa perempuan bisa melepaskan diri dari belenggu tradisionalitas sembari mendapatkan kebebasan memilih citra, tapi di lain sisi secara tidak sadar dia telah menjadi korban dari tuntuan pasar. 

Tampilan wanita yang merokok pada beberapa jenis media promosi yang terpublikasikan pada tahun 1930an, pada umumnya ditujukan untuk dua hal. Pertama, wanita ditampilkan untuk membangkitkan unsur sensualitas berdasarkan legenda Roro Mendut. Kisah Roro Mendut, rokok dan fantasi seksual telah menjadi inspirasi yang masih lekat dalam ingatan masyarakat saat itu. Upaya membangkitkan unsur sensualitas tersebut ditujukan untuk menjaring target audiens pria yang secara psikologis menyukai tampilan wanita yang cantik, seksi dan menggoda.  Kedua, tampilan wanita dalam media promosi ditujukan untuk menjaring lebih banyak target audiens wanita. Saat itu, media promosi berupa iklan surat kabar maupun merchandise hanya dinikmati oleh segmentasi kalangan tertentu, yaitu kelas menengah ke atas. Citra wanita glamour, anggun dan berkelas dibangkitkan melalui tampilan wanita cantik yang sedang merokok. Citra tersebut diharapkan mampu menjaring minat wanita kelas menengah ke atas untuk melakukan aktivitas merokok.