Thursday, April 14, 2011

Mengingat UTS Prof Imam Buchori :)

Duluuu  banget, di tengah semester 2 kuliah Magister Desain di ITB (kalau nggak salah bulan Mei 2009), Prof Imam Buchori memberikan soal UTS teori Desain 2 terkait pendapat Donald Norman yang menyebutkan bahwa Ilmu Desain seyogyanya masuk ke dalam core keilmuan Bisnis. Padahal pada perkembangannya, Ilmu Desain berkembang dalam berbagai cabang keilmuan, seperti engineering&technology, arts, dan communication. Kita sebagai mahasiswa diminta memaparkan pendapat mengenai hal itu dalam waktu 1x24 jam. Lumayan hosh hosh waktu mengerjakannya sih... Dan... Inilah hasil pemaparan saya waktu itu.

Terkait dengan pendapat Donald Norman bahwa desain seyogyanya masuk ke dalam core keilmuan bisnis dan tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan kesenimanan saja, saya akan memaparkan skema berupa alur korelasi bagaimana bisnis dan desain menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Secara konsep, posisi sains, teknologi dan seni adalah untuk mendukung keberlangsungan desain dan meningkatkan kualitas desain dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Bisnis yang senantiasa berorientasi pada profit tidak akan ragu untuk mengeluarkan dana yang besar untuk mendukung penemuan-penemuan di bidang sains, teknologi dan seni untuk memperlancar kegiatan pemasaran. Dominasi premis bisnis dalam perkembangan desain disebabkan karena sektor tersebut akan menjadi penopang sekaligus roda keberlangsungan sektor yang lain seperti sains, teknologi dan seni. Desain hadir sebagai hasil dari penggabungan tiga aspek (sains, teknologi, seni)   dan akan berkembang sebagai alat penopang keberlangsungan bisnis. 
Perkembangan teknologi tidak hanya menyentuh aspek-aspek yang berkaitan dengan dunia formal dan edukasi saja, namun juga menyentuh dunia hiburan di dunia maya. Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global. Dalam perkembangannya, game telah merambah berbagai segi bisnis, sehingga muncul berbagai istilah profesi baru yang terkait dengan game, seperti game developer, game publisher, hingga desainer untuk aksesoris dan merchandise. Bisnis game telah menjadi sebuah industri dengan standarisasi yang cukup jelas.
Pada awalnya, game dibuat untuk sekedar permainan sederhana yang menguji ketangkasan atau kecepatan reaksi pemain game. Dalam perkembangannya, game telah berevolusi  menjadi berbagai genre dan ditujukan untuk multi segmen. Berbagai genre terus muncul, sebagian adalah genre yang benar-benar baru, sebagian adalah perbaikan dari genre yang lama, dan ada sebagian yang merupakan hasil kombinasi antar  genre.
Meskipun dikenal sebagai cabang desain yang baru, game menjanjikan kesempatan bisnis dengan keuntungan yang sangat besar. Hal tersebut dibuktikan oleh debut para game developer lokal yang berhasil mengembangkan game kemudian menjualnya hingga menembus pasar internasional. Dalam sebuah situs game developer lokal (www.gamedevid.org)  pernah tercatat bahwa satu karya game yang dikembangkan oleh para game developer yang baru memulai debutnya bisa laku dengan harga jual 500-1000 USD, dan game developer tersebut masih duduk di bangku SMU. Dengan permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap game, maka game menjadi sebuah cabang dalam bidang desain dengan peluang keuntungan yang cukup besar.
  Game sebagai sebuah karya desain yang berkembang pesat saat ini, telah menjadi salah satu bukti bahwa desain tidak bisa dipisahkan oleh bisnis.
 Desain - diluar pendapat pro dan kontra yang ada - mau tidak mau telah menjadi bagian dari bisnis. Bahkan desain dikembangkan dan didedikasikan untuk bisnis. Keberlangsungan desain akan sangat tergantung bagaimana respons bisnis terhadap desain. Perkembangan sains, teknologi dan komunikasi telah menempatkan desain sebagai ujung tombak dari kesuksesan sebuah bisnis. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa desain yang ditujukan untuk kepentingan bisnis semata akan menimpulkan  banyak pengaruh negatif.  Untuk membuktikan hal tersebut,  maka saya akan melakukan analisis SWOT terhadap bidang desain dan bisnis  sebagai berikut;
 
Adapun bila analisis SWOT yang sama diaplikasikan untuk menganalisa keberadaan game ditinjau dari premis desain dan bisnis, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Ketika desain masuk dalam core bisnis, maka tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip “anything goes” dapat terjadi tanpa adanya regulasi yang bisa menjadi pembatasnya. Dengan mengatasnamakan kreativitas , maka segala komoditi –mulai dari hiburan, olahraga, pendidikan, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, halusinasi dan bahkan fantasi “dilahap” untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Disebabkan hal tersebut maka seringkali pelanggaran etika sosial, budaya maupun lingkungan hidup terjadi tanpa adanya kendali.
Begitu pula ketika pengembangan game didominasi oleh orientasi bisnis semata, pelanggaran etika sosial maupun budaya seakan bukan menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Fokus utama pengembangan game adalah untuk mendapatkan perhatian dan minat sebanyak-banyaknya dari pemain (player). Jadi, segala hal yang bisa mendongkrak  popularitas game publisher dan menjanjikan profit besar adalah “halal” bagi para penganut kapitalisme global.
Kita bisa menyimak cerita sukses para game publisher yang mendulang keuntungan yang luar biasa besar dari game-game yang mengangkat isu seksualitas dan erotisme – yang tentu saja melanggar etika sosial dan budaya.  Salah satu contoh game  sukses yang mengangkat isu seksualitas dan mendapatkan respons yang besar dari pemain game dari seluruh dunia adalah Artificial Girl yang dikembangkan oleh Illusion Game Developer (Jepang). Game tersebut bercerita tentang simulasi percintaan (love simulation) yang memungkinkan pemain untuk secara interaktif melakukan aktivitas seksual dalam dunia virtual. 
Semua orang menyadari bahwa game semacam ini melanggar etika sosial dan budaya, namun ketika yang berbicara di dalam hal ini adalah profit dengan jumlah yang luar biasa besar, adakah pihak yang bisa menahan agar game-game sejenis tidak terpublikasikan? Jika kita adalah salah satu desainer dari tim pengembang game tersebut,  mungkin kita memiliki beberapa alasan untuk membenarkan bahwa apa yang kita lakukan merupakan hal yang sah saja. Namun, apakah pernah terbayangkan efek psikologis yang ditimbulkan dari game-game  serupa bagi para pemain? Sedangkan kita tahu bahwa akses untuk mendownload game tersebut melalui internet sangatlah mudah, karena usia para pengguna  yang mendownload file tidak dapat diidentifikasi  melalui internet. Hal tersebut mengartikan bahwa siapaun bisa dengan mudah mengakses game bertema seksualitas, bahkan anak-anak yang usianya jauh dibawah batas usia yang diperbolehkan.
Menurut saya, dibawah payung apapun desain bernaung – engineering, komunikasi, bisnis maupun seni -, tidak ada yang lebih penting selain menanamkan nilai-nilai moralitas pada para calon desainer sedini mungkin.  Keberlangsungan desain yang bisa membawa atmosfer kehidupan yang lebih baik sangat bergantung pada moralitas dan tujuan penciptaan para desainer. Betapapun menakjubkan sesuatu dapat diciptakan dengan desain dan sebesar apapun keuntungan bisa diraih melalui desain, jika tidak menjadi solusi bagi kehidupan manusia maka sebuah desain telah kehilangan esensinya. 

Btw, UTS ini dapat A..hehehe....alhamdulillah. Semoga Prof Imam Buchori tidak salah menilai. Semoga bermanfaat ;)

*dipubllish pada saat kangen masa2 kuliah plus keluarga besar Magister Desain 2008* 
 

No comments:

Post a Comment