oleh : Rahina Nugrahani
(dipublikasikan dalam jurnal Imajinasi
No/Vol : 1/7 Januari Halaman: 25-34 Tahun: 2011, ISSN: ISSN: 1829-930X)
Perkembangan rokok di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari tanaman tembakau dan cengkeh. Konon, rokok beraroma
cengkeh sangat khas Indonesia. Industri rokok kretek di Indonesia diperkirakan
berkembang pada tahun 1870-1880an. Sejalan dengan perkembangan usaha rokok yang
cukup pesat, persaingan antar produsen rokok mulai terjadi. Beberapa perusahaan
rokok berskala besar mencoba untuk bersaing dan berupaya untuk menjadi paling
unggul melalui pemilihan kegiatan promosi yang tepat. Strategi pemasaran berupa
etiket, iklan maupun merchandise produk rokok menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari dunia perdagangan rokok. Mencermati perkembangan strategi
pemasaran rokok dari masa ke masa merupakan sebuah kajian yang sangat menarik.
Elemen visual berupa image yang mucul pada media promosi rokok di tahun 1930an
memiliki kesamaan karakteristik, yaitu munculnya image wanita yang sedang
menghisap rokok dapat ditemukan pada berbagai jenis media promosi yang berkembang pada masa itu. Melalui
analisa yang dilakukan terhadap empat buah media promosi produk rokok tahun
1930an penulis menyimpulkan bahwa tampilan wanita pada media promosi rokok
ditujukan untuk dua hal. Pertama, wanita
ditampilkan untuk membangkitkan unsur sensualitas berdasarkan legenda Roro
Mendut. Kisah Roro Mendut, rokok dan fantasi seksual telah menjadi inspirasi
yang masih lekat dalam ingatan masyarakat saat itu. Upaya membangkitkan unsur
sensualitas tersebut ditujukan untuk menjaring target audiens pria. Kedua, tampilan wanita dalam media
promosi ditujukann untuk menjaring lebih banyak target audiens wanita. Saat
itu, media promosi berupa iklan surat kabar maupun merchandise hanya dinikmati
oleh segmentasi kalangan tertentu, yaitu kelas menengah ke atas. Citra wanita
glamour, anggun dan berkelas dibangkitkan melalui tampilan wanita cantik yang
sedang merokok. Citra tersebut diharapkan mampu menjaring minat wanita kelas
menengah ke atas untuk melakukan aktivitas merokok.
Perkembangan rokok di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari tanaman tembakau dan cengkeh. Konon, rokok beraroma
cengkeh sangat khas Indonesia. Bentuk-bentuk rokok yang berkembang pada masa
itu tidak berpenampilan seperti sekarang ini. Kretek dengan klobot merupakan
kretek paling umum yang digunakan banyak orang. Industri rokok kretek di
Indonesia diperkirakan berkembang pada tahun 1870-1880an. Pada masa itu telah
muncul ratusan pabrik yang memproduksi rokok kretek dan dalam perkembangannya
mampu menggeser keberadaan rokok-rokok produksi mancanegara. Perusahaan rokok
kretek pertama di Indonesia adalah perusahaan rokok Mari Kangen di Solo yang
kemudian disusul oleh perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya. Pada awal abad 20,
banyak perusahaan rokok kretek beroperasi di Kudus. Salah satu perusahaan yang
terkenal adalah perusahaan rokok cap Bai Tiga yang dikelola oleh raja rokok
Nitisemito. Sejak tahun 1928 terjadilah perubahan penting dalam industri rokok
kretek di Kudus yaitu semakin luasnya wilayah industri menuju distrik Kudus,
Tenggeles, Cendono dan beberapa wilayah
lain di Jawa. Sejalan dengan
perkembangan usaha rokok yang cukup pesat, persaingan antar produsen rokok
mulai terjadi. Beberapa perusahaan rokok berskala besar mencoba untuk bersaing
dan berupaya untuk menjadi paling unggul melalui pemilihan kegiatan promosi
yang tepat. Strategi pemasaran berupa etiket, iklan maupun merchandise produk rokok
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia perdagangan rokok.
Periklanan rokok mulai
berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi mesin cetak oleh surat kabar
di Indonesia. Merupakan sebuah fenomena yang menarik ketika kita mencermati beberapa
jenis media promosi rokok pada masa awal berkembangnya metode beriklan di tanah
air. Strategi beriklan berupa pemasangan iklan cetak (print ad) di beberapa surat kabar lokal, atau merchandise berupa
kalender serta strategi beriklan tidak langsung yang dapat kita lihat dalam
grafis etiket kemasan rokok mulai marak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
rokok berskala besar yang peduli pada pengenalan merk di kalangan masyarakat.
Di masa itu, istilah branding activation
mungkin belum dikenal oleh para produsen rokok, namun mereka cukup sadar
pentingnya menarik perhatian masyarakat dan mengikat emosi pembeli dengan merk
dagang mereka. Maka kegiatan beriklan pada tahun 1930an menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari masa perkembangan industri rokok di Indonesia.
Mencermati perkembangan strategi
pemasaran rokok dari masa ke masa merupakan sebuah kajian yang sangat menarik. Etiket,
iklan maupun merchandise untuk produk rokok tidak sekedar memuat informasi dan
upaya penawaran produk, namun juga mengandung unsur yang sangat berkaitan
dengan lingkungan sosial, kebudayaan, bahkan mitos yang berkembang pada sebuah
masa. Elemen visual berupa image yang mucul pada media promosi rokok di tahun
1930an memiliki kesamaan karakteristik. Image wanita yang sedang menghisap
rokok dapat ditemukan pada berbagai jenis media promosi yang berkembang dan sempat terpublikasikan
pada masa itu. Kesadaran akan potensi wanita sebagai obyek yang digunakan dalam
strategi pemasaran telah dimiliki oleh pelaku pemasaran sejak dulu. Melalui
proses pengolahan dan pengaturan komposisi dengan cara yang sederhana, beberapa
media promosi berupa etiket, iklan maupun merchandise yang dibuat pada awal
perkembangan industri rokok menunjukkan keterkaitannya dengan aspek sosial
kebudayaan. Melalui analisa yang dilakukan terhadap empat buah media promosi produk
rokok tahun 1930an penulis mencoba untuk mengurai beberapa hal yang menjadi
faktor pemilihan image wanita pada strategi pemasaran rokok di tahun 1930an.
A. Citra perempuan dalam Media
Promosi
Ada berbagai macam strategi kreatif dalam
periklanan. Salah satunya adalah penggunaan brand image (citra merek).
Sebuah merek atau produk diproyeksikan pada suatu citra (image) tertentu melalui
periklanan. Citra sebenarnya bukanlah suatu struktur yang tertutup karena
setidak-tidaknya ia berkomunikasi dengan sebuah struktur lain yaitu teks.Yang
dimaksud dengan teks dalam hal ini adalah susunan kata, perkataan atau
kalimat-kalimat yang bersifat parasitik dan sengaja didesain untuk
mengkonotasikan citra (Boediman 2004:15 ).
Gagasan penggunaan citra adalah
agar konsumen dapat menikmati keuntungan psikologis dari sebuah produk. Ini
biasanya berorientasi pada simbol kehidupan. Daya tarik pesan dapat diciptakan
menggunakan berbagai macam unsur, seperti selebritis, humor, fear,
musik, komparatif, atau seks. Munculnya sebuah gerakan kebudayaan pop di
Amerika Serikat pada pertengahan 1950-an mendorong munculnya seni beriklan
indah. Dan budaya tersebut diadaptasi oleh hampir semua negara di dunia. Dalam
budaya pop, iklan harus tampil mempesona, cantik, indah, menarik dan atraktif.
Pada akhirnya cara manipulasi iklan berperan sebagai sihir pengolah kesadaran
masyarakat.
Penggunaan sosok perempuan dalam iklan merupakan
sebuah kelaziman, bahkan bagi beberapa pekerja kreatif merupakan keharusan. Perempuan
dan iklan memang tidak bisa dipisahkan. Tidak dapat disangsikan bahwa perempuan memiliki kekuatan
dalam membantu menjual produk yang diiklankan. Bila kita simak pembabakan
Tamrin A Tomagola (1996) yang dikutip oleh Tinarbuko melalui sebuah artikel
online (2011), terdapat lima citra perempuan dalam iklan, yaitu; citra
pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan
sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri
biologis. Citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga.
Pengertian budaya yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat,
tetapi kodratnya berbeda. Citra peraduan, menganggap perempuan adalah obyek
pemuasan laki-laki. Citra pinggan, digambarkan bahwa setinggi apa pun
pendidikan perempuan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di
dapur. Citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi
kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan, sehingga untuk dapat
diterima, wanita perlu tampil memikat secara fisik.
Pembabakan citra tersebut menunjukkan betapa mitos perempuan
telah dimanfaatkan bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme di kalangan
pengiklan. Karena itulah, keberadaan perempuan dalam iklan seakan menjadi acuan
pembentukan ekistensi serta mitos
tentang identitas.
Rokok dalam kehidupan sosial di
Indonesia tahun 1930an
Sebelum diproduksi secara
masal, rokok dibuat dalam skala industri rumah tangga dan melalui cara yang
sangat konvensional. Rokok yang pertama kali dibuat adalah rokok lintingan
tanpa ada tambahan cengkeh atau campuran bahan lain. Industri rokok pada masa itu
digolongkan menjadi industri rumah tangga. Sedangkan rokok kretek dengan aroma
cengkeh pertama kali dipelopori oleh Haji Djamari -seorang penduduk Kudus- pada tahun 1880an. Dia menderita
sakit di bagian dadanya lalu mulai mempelopori penggunaan minyak
cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai sembuh.
Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat rokok obat
yang diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu rokok
obat lebih dikenal dengan nama rokok cengkeh, kemudian sebutan tersebut berganti menjadi rokok
kretek karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan. Rokok kretek
kemudian mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa kebiasaan merokok dapat
menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas.
Suatu hal yang menarik bahwa
pada mulanya orang merokok tidak ada
hubungannya dengan gengsi, penampilan, atau bahkan kejantanan seseorang.
Kebiasaan merokok pada awalnya lebih mengacu kepada sajian yang biasanya
dinikmati pada saat masyarakat bersosialisasi. Pada zaman Hindia Belanda, rokok
kretek hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Sedangkan masyarakat kelas
menengah ke bawah biasa menikmati rokok lintingan. Perbedaan harga rokok kretek
dan rokok lintingan menyebabkan adanya positioning
yang berbeda antara kedua jenis rokok tersebut. Wanita kelas menengah ke
atas juga mulai menjadi target pasar dari rokok kretek pada masa itu. Kebiasaan
“nginang” (mengunyah daun sirih yang
dicampur tembakau) dilakukan oleh wanita dari kalangan kelas menengah ke bawah
dan berusia lanjut.
Cerita Rakyat Roro Mendut dan Strategi
Pemasaran Rokok
Cerita rakyat Roro Mendut
merupakan salah satu cerita yang cukup dikenal, khususnya di Pulau Jawa.
Legenda Roro Mendut yang menampilkan rokok sebagai obyek dari cerita tersebut
membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa telah dimulai jauh sebelum
zaman kesultanan Mataram di abad ke 17. Roro Mendut di masa itu menjadi ikon kecantikan dan
kesempurnaan seorang wanita. Dalam perkembangan kisah hidupnya, Roro Mendut
harus menjadikan rokok sebagai tumpuan hidupnya karena adanya tuntutan keadaan.
Hal tersebut jua menunjukkan bahwa rokok dalam skala sangat sederhana juga
sangat potensial menjadi sebuah industri rumah tangga yang menjanjikan.
Cerita rakyat Roro Mendut,
seperti yang disadur dari Novel Cerita Rakyat berjudul “Roro Mendut” tulisan YB
Mangunwijaya (1988), dilatar belakangi oleh legenda percintaan antara Roro
Mendut dan Pranacitra. Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan Roro Mendut
–salah seorang gadis yang terkenal karena kecantikannya- terpaksa harus
membanting tulang membayar upeti yang dibebankan kepada dirinya karena telah
menolak cinta dari Tumenggung Wonocitro -orang yang memiliki pengaruh di
wilayah kerajaan. Untuk memenuhi upeti tersebut, Roro Mendut membuka usaha
dengan cara menjual rokok lintingan. Pada perkembangannya, menyadari potensi
kecantikan dirinya yang mudah menarik perhatian lawan jenis, Roro Mendut
menjual rokok lintingan yang direkatkan
dengan air ludahnya dan dihisap terlebih dahulu dengan harga yang cukup tinggi.
Strategi tersebut menjadikan rokok dagangannya menjadi rebutan para pria.
Konon, pria rela mengantri serta berebut rokok hasil lintingan dan hisapan Roro
Mendut. Bahkan ada kepercayaan yang berkembang bahwa menghisap rokok lintingan
Roro Mendut akan membangkitkan fantasi seksual para lelaki. Hal tersebut
semakin mendongkrak kepopuleran dan tingkat penjualan rokok lintingan Roro
Mendut.
Dalam
masyarakat tradisional (di Indonesia), perempuan cenderung tidak memiliki
banyak pilihan untuk merumuskan eksitensi dan citra dirinya karena masih
terbelenggu oleh nilai-nilai normatif yang harus diterima secara sosio-kultural
dan sosio-religius yang dianut secara doktriner. Jika menyimak kisah Roro Mendut kita dapat melihat bahwa pada zaman kerajaan
Mataram telah lahir sebuah ikon
kemandirian wanita. Roro Mendut berupaya keras untuk menafkahi dirinya sendiri demi pilihan hidup
dan keyakinan yang harus diperjuangkan. Terbukti, Roro Mendut rela untuk
meninggalkan kehidupan keluarga yang berasal dari kalangan ningrat untuk
memperjuangkan pilihan hatinya yaitu Pranacitra.
Keberhasilan
bisnis berjualan rokok lintingan ala Roro Mendut menunjukkan bahwa
rokok sangat potensial untuk dipasarkan dengan pendekatan seksualitas. Pada
awal perkembangannya, image wanita dalam media promosi rokok cukup banyak
digunakan. Citra kemandirian, kebebasan, keberanian untuk menolak norma yang
berlaku sekaligus citra sensualitas yang telah dibangun melalui legenda Roro
Mendut rupanya menjadi inspirasi insan kreatif untuk menggunakan image wanita
dalam media promosi rokok. Hingga pertengahan 1980an, kita masih bisa melihat
foto-foto wanita dalam balutan busana seksi yang ditampilkan dalam sebuah iklan
cetak produk rokok. Legenda Roro Mendut juga menguak sebuah fakta bahwa perempuan bisa
melepaskan diri dari belenggu tradisionalitas sembari mendapatkan kebebasan
memilih citra, tapi di lain sisi secara tidak sadar dia telah menjadi korban
dari tuntuan pasar. Dalam kisahnya, Roro Mendut ketika harus menjual rokok
lintingan yang direkatkan dengan air ludahnya dan menghisapnya terlebih dahulu,
secara tidak langsung telah menjual
sebagain dari dirinya untuk memenuhi kebutuhan para lelaki dalam mewujudkan
fantasi erotisme mereka. Melalui tubuhnya, perempuan adalah penguasa citra tapi
pada saat yang sama sekaligus menjadi korban utamanya.
Citra Wanita Dalam Media Promosi
Produk Rokok tahun 1930an
Dalam era yang menjadikan kapitalisme sebagai ujung tombak kehidupan
seperti sekarang ini, perempuan adalah salah satu sasaran dan medan utama dalam
arus pencitraan. Berbagai telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat
konsumtif menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama. Hal ini
menandakan bahwa budaya konsumtif cenderung identik dengan kecenderungan untuk eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan,
khususnya tubuh perempuan. Tubuh perempuan seakan diolah, semaksimal mungkin
untuk dijadikan komoditas sekaligus sebagai penyerap dan konsumen utama. Konsep
baru mengenai kecantikan dalam budaya konsumtif tersebut telah menyediakan
berbagai pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan yang
nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru mengenai eksistensi.
Kita mungkin tidak pernah menduga bahwa potensi wanita dalam strategi
promosi telah disadari keberadaannya sejak era kapitalisme dimulai dan budaya
konsumtif dipuja seperti sekarang ini. Tampilan wanita sebagai pelengkap elemen
visual dalam berbagai strategi media promosi bahkan dimulai sejak era industri
berkembang, bahkan untuk skala yang paling kecil seperti industri tradisional
maupun industri rumah tangga. Ketika perusahaan rokok berkembang di Indonesia
di awal abad 20, tidak semuanya berkembang menjadi perusahaan berskala besar.
Perusahaan-perusahaan yang menyadari bahwa kegiatan promosi dianggap perlu
untuk meningkatkan produksi dan hasil penjualan muali mengadaptasi kegiatan
reklame yang mulai dipopulerkan pemerintah Hindia Belanda seiring dengan
penggunaan mesin cetak pertama untuk surat kabar Bataviasche Nouvelles di tahun 1744. Bataviasche Nouvelles disebut sebagai surat kabar pertama yang
berorientasi iklan karena sebagian besar berita yang dimuat merupakan iklan
perdagangan, pelelangan dan pengumuman resmi pemerintah VOC.
Dua abad setelah masa penggunaan mesin cetak pertama tersebut, strategi promosi
yang awalnya hanya terbatas pada iklan baris kemudian berkembang menjadi
berbagai jenis media promosi lainnya seperti etiket, iklan bergambar dalam surat
kabar serta merchandise.
Etiket
merupakan karya desain grafis sebagai suatu bentuk komunikasi visual dalam
strategi promosi. Fungsi utama etiket adalah menginformasikan nama serta
gagasan suatu produk. Selain itu, etiket merupakan langkah awal untuk
mengkomunikasikan citra produk kepada target audiens. Pada umumnya etiket
berupa secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan suatu produk. Dalam
perkembangannya etiket kemudian dicetak menjadi satu dengan kemasan. Wajar saja
jika akhir-akhir ini istilah etiket menjadi asing bagi kita karena
keberadaannya pun sudah sangat jarang ditemui. Dewasa ini, etiket masih
digunakan oleh industri rumah tangga tradisional yang memproduksi makanan.
Pada awal
perkembangan industri rokok di Indonesia, etiket menjadi satu-satunya alat
untuk mengenalkan brand/merk produk pada target audiens. Mahalnya biaya promosi
melalui surat kabar atau media promosi yang lain, menjadikan industri rokok
berskala kecil memilih etiket sebagai tumpuan alat untuk menjual produk, selain
kualitas dari produk rokok itu sendiri tentunya. Kesadaran akan pentingnya
etiket dalam strategi pengenalan produk kepada audiens menyebabkan etiket rokok
dibuat dengan cara yang terhitung sakral. Konon, produsen rokok rela
mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membayar paranormal agar memilihkan image
yang sesuai bagi produk mereka.
Image
wanita dalam etiket rokok untuk merk dagang Soember Girang ini dibuat pada
tahun 1930-an. Dibandingkan dengan etiket lain yang berkembang pada masa itu,
etiket ini termasuk salah satu etiket yang memiliki mutu yang baik. Unsur
gambar tampak menarik dan menunjukkan kemampuan ilustratornya. Penyajiannya
cukup komunikatif, realistis dan menggunakan unsur garis yang kuat dan blok
warna yang tegas.
Tampilan
wanita dalam etiket rokok pada masa itu bisa dikatakan bukanlah sebuah
kelaziman. Etiket pada masa itu didominasi oleh tampilan visual yang sesuai
dengan merk dagang rokok. Sebagai contoh, etiket rokok pada merk Gudang Garam
menampilkan deretan gudang garam yang sangat simetris dan sederhana. Image
gudang garam sama sekali tidak mengandung upaya perayuan (seduction) karena konon pemilihan merk dan imagenya didasarkan pada
inspirasi paranormal yang mungkin tidak rasional. Begitu juga dengan etiket rokok
Bentoel, Oepet, dan Djarum.
Masing-masing merk memasang image yang mewakili nama merk dagang pada etiket
yang dibuat.
Etiket
produk rokok bermerk Soember Girang ini menampillkan sosok wanita cantik yang
sedang merokok. Meskipun ditampilkan tidak secara vulgar, namun eksploitasi
tubuh wanita dapat kita lihat dari siluet bentuk dada yang besar serta lingkar
pinggang yang tampak kecil. Sosok wanita dalam etiket ini menjadi elemen
penarik tunggal atau emphasis dari tampilan etiket secara keseluruhan.
Pemilihan image wanita dalam etiket ini lebih cenderung kepada upaya rayuan (seduction) target audiens pria. Hal ini
didasari pada persepsi bahwa pria selalu
lebih tertarik pada wanita cantik sebagai obyek. Mereka beranggapan,
perempuan lebih efektif dalam upaya merebut perhatian dari khalayak sasaran. Disebabkan ketidaklaziman tampilan wanita pada etiket rokok pada masa itu,
seakan desainer etiket rokok meyakini
bahwa tampilan wanita cantik bisa menjadikan etiket tersebut unggul jika
dijajarkan dengan ratusan etiket rokok yang lain.
Terjadinya depresi ekonomi global di tahun 1929 yang diikuti dengan
lesunya oplah surat kabar dan pendapatan periklanan, menyebabkan biro iklan
mulai terpuruk dan terjebak dalam kebangkrutan. Namun kondisi tersebut tidak
berlangsung lama, karena pada tahun 1930 kondisi perekonomian Hindia Belanda
mulai pulih. Biro periklanan mulai bergairah lagi menjalankan aktivitasnya,
bahkan mulai menggunakan teknologi
periklanan yang canggih. Kesadaran untuk memposisikan produknya juga terjadi
pada para produsen rokok. Karena tingginya tingkat persaingan antara produsen
rokok, maka mereka mulai memberlakukan brand
positioning -meskipun dengan cara yang cukup sederhana.
Ilutrasi
iklan surat kabar untuk produk rokok ini menampilkan seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang tampak bersantai menghabiskan waktu luangnya. Pada
ilustrasi ini, digambarkan sang wanita sedang
menghisap rokok. Pada zaman itu, hanya wanita dari kalangan menengah ke
atas saja yang merokok, sedang wanita kelas menengah ke bawah biasanya “nginang” (mengunyah campuran daun sirih
dan tembakau). Demikian halnya dengan keberadaan surat kabar di tahun 1930an
yang hanya dikonsumsi oleh kalangan ningrat dan menengah ke atas. Upaya
memposisikan rokok dengan merk dagang “Tjap Doro” merupakan upaya untuk
menjaring target audiens di kalangan wanita kelas menengah ke atas. Pada tahun
yang sama di Amerika Serikat, iklan rokok Marlboro juga memposisikan target
audiensnya untuk wanita. Marlboro di awal kemunculannya memposisikan produknya
untuk wanita karena pada saat itu rokok digunakan sebagai pelengkap fashion.
Korelasi secara langsung antara iklan
rokok Tjap Doro dan iklan rokok Marlboro mungkin tidak bisa dilihat secara
langsung. Akan tetapi terdapat kesamaan upaya untuk memposisikan rokok kretek
atau sigaret bagi kaum wanita. Ilustrasi wanita yang sedang
merokok pada iklan surat kabar rokok “Tjap Doro” memberi kesan kebebasan
sekaligus keberanian untuk mengekspresikan diri. Pada masa itu, wanita pada
umumnya hidup dengan aturan-aturan yang harus ditaati. Wanita memilliki
kewajiban yang besar untuk mengurus rumah tangga, mengurus suami dan mendidik
anak-anak. Alih-alih untuk menghabiskan waktu luang dengan mengobrol dan
bersantai, meluangkan waktu untuk mengurus diri sendiri saja seringkali tidak
bisa dilakukan oleh para wanita.
Ilustrasi tersebut membuka
wacana serta menawarkan sebuah
kemungkinan bagi para wanita untuk melakukan hal yang tidak umum mereka lakukan,
yaitu menghabiskan waktu luang. Bersantai di waktu luang digambarkan sebagai
sebuah kegiatan yang menyenangkan, terlebih dengan menghisap rokok kretek atau
sigaret. Kesan ilustrasi tersebut diperkuat dengan adanya slogan “Selaloe Poewaskan Penghisapnja” . Jika
hendak dikaitkan dengan gerakan feminisme, iklan surat kabar ini juga
mengandung propoganda gerakan tersebut. Persamaan hak (dalam hal ini adalah hak
untuk memiliki waktu luang, bersantai, dan menghisap rokok) antara laki-laki
dan perempuan ditunjukkan dengan jelas melalui ilustrasi yang
menampilkanseorang lelaki dan seorang perempuan yang sama-sama bersantai
menghisap rokok di waktu luang. Upaya untuk memposisikan produk sebagai rokok
yang dibuat tidak hanya untuk kaum pria, namun juga dibuat untuk kaum wanita
tampak jelas dalam iklan surat kabar ini.
3. Image Wanita Dalam
Merchandise Berupa Kalender Produk Rokok
Merchandise merupakan salah
satu bentuk strategi promosi dalam kegiatan pemasaran. Secara umum merchandise
dikembangkan dalam bentuk kemasan (packaging), display atau pajangan, atau publikasi. Diberikan sebagai bonus atau
hadiah ketika konsumen membeli produk untuk mendukung kegiatan promosi. Pada
akhir tahun 1920 an dan akhir tahun 1930 an terdapat dua merchandise berupa
kalender yang dipublikasikan oleh dua perusahaan rokok berbeda. Pada tahun 1928
produsen rokok Tjap Kris dari Madiun memberikan kalender sebagai bonus bagi
agen rokok atau konsumen yang membeli rokok dalam jumlah tertentu.
Sedangkan pada tahun 1938
perusahaan rokok paling laris pada masa itu dari Surakarta, Mari Kangen membuat
merchandise berbentuk kalender dengan image wanita yang menghisap rokok.
Secara psikologis baik pria
maupun wanita pada dasarnya lebih menyukai perempuan sebagai image dalam
tampilan iklan maupun media promosi. Gunawan Alif dalam Tinarbuko (2011)
menyebutkan perbedaannya terdapat pada realita bahwa wanita lebih suka pada
tampilan perempuan yang anggun sedangkan laki-laki lebih menyukai tampilan
wanita yang seksi dan menggoda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa image
wanita dalam tampilan kalender yang diproduksi oleh produsen rokok “tjap Kris”
dan “Mari Kangen” ditujukan untuk membentuk positioning
di kalangan wanita bahwa rokok yang mereka produksi tidak hanya ditujukan untuk
kaum pria namun juga sesuai dinikmati oleh kaum wanita. Melalui image tersebut,
produsen berupaya untuk membangun citra anggun, fashionable sekaligus mandiri yang ditampilkan dalam ilustrasi
wanita cantik yang sedang merokok. Selain itu image wanita dalam kalender
ditujukan untuk membentuk rayuan (seduction)
bagi kaum pria. Upaya tersebut sangat mungkin dilatarbelakangi oleh legenda
Roro Mendut dengan sensasi rokok hasil lintingannya yang sempat menggegerkan
masyarakat di masa kerajaan Mataram. Produsen sejak zaman dahulu menyadari
unsur sensualitas sangat menjanjikan bagi peningkatan sebuah strategi
pemasaran.
PENUTUP
Dalam hal pencitraan, kemampuan tubuh wanita berada jauh di atas kemampuan kaum laki-laki. Melalui
potensi keindahan tubuhnya, perempuan telah berhasil menundukkan dunia pemasaran
sejak puluhan tahun yang lalu. Kisah Roro Mendut telah menjadi ikon
keberhasilan pencitraan wanita dalam strategi pemasaran rokok. Legenda Roro Mendut juga menguak sebuah fakta
bahwa perempuan bisa melepaskan diri dari belenggu tradisionalitas sembari mendapatkan
kebebasan memilih citra, tapi di lain sisi secara tidak sadar dia telah menjadi
korban dari tuntuan pasar.
Tampilan
wanita yang merokok pada beberapa jenis media promosi yang terpublikasikan pada
tahun 1930an, pada umumnya ditujukan untuk dua hal. Pertama, wanita ditampilkan untuk membangkitkan unsur sensualitas
berdasarkan legenda Roro Mendut. Kisah Roro Mendut, rokok dan fantasi seksual
telah menjadi inspirasi yang masih lekat dalam ingatan masyarakat saat itu. Upaya
membangkitkan unsur sensualitas tersebut ditujukan untuk menjaring target
audiens pria yang secara psikologis menyukai tampilan wanita yang cantik, seksi
dan menggoda. Kedua, tampilan wanita dalam media promosi ditujukan untuk
menjaring lebih banyak target audiens wanita. Saat itu, media promosi berupa
iklan surat kabar maupun merchandise hanya dinikmati oleh segmentasi kalangan
tertentu, yaitu kelas menengah ke atas. Citra wanita glamour, anggun dan
berkelas dibangkitkan melalui tampilan wanita cantik yang sedang merokok. Citra
tersebut diharapkan mampu menjaring minat wanita kelas menengah ke atas untuk
melakukan aktivitas merokok.